Tuesday, September 8, 2015

Gamang

05 September 2015.

Sudah tiga minggu saya tidak ketemu Egar, kali ini saya datang ke Surabaya utk menemuinya.
Kangen yang selama ini ditahan benar-benar menuntut untuk di beri penawar.

I Can't Stand

Rabu, 19 Agustus 2015.

Dua hari pasca pernikahan Egar.
Saya tak kuat untuk menahan tidak berkomunikasi dengan dia. Akses untuk bicara tak semudah dulu. Saya harus tau diri dan mengalah.
Ini tak mudah. sangat tak mudah. Saya merasa tersiksa. Di perparah dengan lingkungan baru yang berusaha keras untuk bisa adaptasi. Masalah-masalah baru di kantor. Suasana Mess tempat tinggal yg baru.
Kesendirian semakin memperkeruh semua. Terbayang hal yg semakin membuat sedih dan merasa bahwa saya orang paling nelangsa. Tak ada Denta atau teman teman lain sebagai tempat saya lari untuk meminta sedikit lelucon agar saya tertawa. Egar pun juga sulit untuk dihubungi utk hanya sekedar menceritakan apa saja yang saya lalui di kantor seharian tadi.
Dia menghilang.
Tawa hingga adu argument, bercanda hingga bertengkar yang dulu adalah hal biasa kini mulai dirindukan. Bukankah memang seperti itu kadang? Saat kita merindukan seseorang, segala hal biasa yang dulu dilakoni bersama sekarang menjadi kenangan istimewa yang mendadak ingin diulang. Benda-benda kecilpun yang dulu sangat remeh temeh sekarang menjadi barang berharga yang mengingatkan kembali pada moment yang pernah dilalui.
Menghapus kenangan tak semudah menformat sebuah flasdisk kan? sekali klik dan semua memory hilang.
Butuh tenaga Luar biasa untuk tampak seolah-olah baik-baik saja. Menghibur diri dengan bekerja dan menenangkan hati dengan berdoa

Ada panggilan masuk pukul tujuh malam, saya seketika loncat dari kasur dan meraih hape saya di meja. Saya kira Egar, ternyata Denta.
"Haloo.." Suara dia di seberang sana.
"Hey, tumben telpon. Gak kencan sama Annisa?" Biasanya jam pulang kerja dia memang langsung apel ke ceweknya.Dan itu hampir tiap hari.
"Gak, biar bisa telpon kamu." Katanya menggombal.
"Hmmm..bibirmu Muaanisss..." Seketika gelak tawa mulai pecah.
Obrolan berlangsung lama hingga 45 menit. Dia tau betul perasaan saya saat ini. Dia sudah menebak jauuuuuuh hari dulu "Kamu pasti berat saat nanti awal-awal Egar nikah." Dan sekarang dia hadir untuk menghibur.
Dia menceritakan kondisi di kantor. Yang seperti biasa selalu ada saya cerita yang bisa diceritakan. Dan saya juga menceritakan kondisi kantor baru saya serta proses adaptasi yang dimana-mana pasti agak susah-susah gampang.
"Jangan sedih. Rasa sedih gak akan berlangsung lama kok. Jangan terlalu dipikirkan. Dia sekarang sudah tidak seperti dulu kondisinya. Memikirkannya terlalu dalam hanya akan sia-sia." Kata Denta di ujung pembicaraan telpon.
Telpon ditutup.
Obrolan bersama dia masih melekat di ingatan. Saya masih tersenyum-senyum sendiri mengingat cerita-cerita dalam telpon tadi.
Malam semakin larut. Tak ada tanda-tanda orang yang di harapkan akan menghubungi saya sesuai yg di harap.

Semakin sedih saja.
Arrrghhhhhhhhhhh....
Saya mandi.. selarut malam ini saya membiarkan diri saya berlama lama meringkuk di bawah shower.
Merasakan kucuran air yang menerpa punggung dan kepala saya, merasakanya mengalir melalui ujung rambut ke muka saya.
Sendiri membuat saya berbincang-bincang banyak dengan suara yang ada di kepala. Dialog-dialog pertentangan antara jalan pikiran dan hati yang tak searah. Tak ada ujung, tak tahu siapa yang menang dan kalah, ah hanya debat kusir. Hingga saya mulai menggigil dan memutuskan utk menyudahi. Mengambil handuk, membasuhkan wudhu dan sholat isya.

Beginilah orang galau, melihat minyak angin saja sudah mewek, melihat inheler aja udah mau nangis, melihat charger power bank aja udah sedih gak karuan. Huft.
Egar suka sekali dengan minyak angin dan minyak kayu putih, dia membawa nya kemana-mana. Dan di ujung meja sana ada minyak angin Egar yg sengaja dikasihkan saya jika sewaktu-waktu butuh. Benda kecil sialan itu tidak membantu saya sama sekali hari ini. Dia hanya semakin membuat resah.
Begitu juga dengan inhaler, dia suka sekali pakai inhaler. Egar memberinya beberapa utk ku. Dia beli saat di bangkok kapan lalu, saya yang pergi membelikanya di 7eleven di Khaosan Road waktu itu...sedikit ingatan akhirnya meluber membuka banyak kenangan lain selama di Thailand, semakin terbuka lebar semakin sakit seperti luka yang memborok.

Saya memutuskan utk memejamkan mata, tapi tak bisa. Berbalik ke kanan dan kiri.
Telpon berbunyi, dan Egar akhirnya menyadari bahwa ada orang yang jauuuh berada dari rumahnya sedang menunggu dan mengharapkanya.
"Haloo.. sudah tidur?" Kata dia membuka percakapan.
"Belum, menunggumu."







Sunday, September 6, 2015

Happy Wedding..

Senin, 17 Agustus 2015.

Campur aduk.
Saya berusaha keras untuk mampu menerima kenyataan bahwa hari ini pasti akan datang.
Hari dimana apa yang menjadi milik saya harus di pasrahkan agar hidup bersama dengan orang lain.
Selamat Menjalani kehidupan baru.
Slide-Slide foto prewedding Egar dan Lea begitu meriah terpampang di layar LCD raksasa di dalam Ball Room, sisi kanan dan kiri, di aluni lagu lagu romantis yang menyita perhatian semua undangan yang jumlahnya hampir seribu orang.
Serangkaian video prosesi pemberkatan pernikahan pagi tadi yang di putar membuat saya sangat terharu. Bagaimanapun pernikahan selalu membuat perasaan saya menjadi seperti ini.
Semua yang hadir datang dengan pasangan mereka masing masing, dengan suami atau istrinya, dengan pacarnya, dan banyak yang saya tahu teman Egar yang "seperti kita" datang dengan "boyfriend" nya masing masing. Dan saya, duduk disini, memandanga Egar dari jauh, yg tersenyum nanar di tengah sorotan lampu dan kamera, disanalah pasangan saya berada. Muka nya tak bisa membohongi lelah yang ia rasakan. Persiapan pernikahan menguras seluruh energinya beberapa hari terakhir.  Dan semalam dia masih berada di hotel tempat saya menginap hingga jam 12 malam, padahal dia harus bangun jam 3 pagi nya utk persiapan acara pemberkatan.

Makanan yang lezat dan serangkaian acara bertema orkerstra dan para pemain biola tidak membuat hati saya semeriah seperti kelihatannya. Saya tidak tahu, benar-benar tidak tahu. Hendrik dan banyak teman Egar yg "seperti itu" berceloteh meledek saya.
"Sabar ya.. haha."
"Jangan menangis semalam."
"Jangan bunuh diri ya."
"Kamu kuat kan?"
 Hahaha saya hanya menanggapi nya dengan tawa. Kemudian diam.

Di hidangan terakhir, saya cek ada bbm dari Egar, dia berada di sederetan meja VVIP dimana kedua mempelai, orang tua dan keluarga mempelai duduk bersama untuk menikmati hidangan yang disajikan. Disana Egar menyempatkan untuk mengecek Blackberry nya.
"Terima Kasih Za untuk dukungan nya sampai hari ini". Mata ini semakin berkaca-kaca, saya takut, berkedip hanya akan membuat air mata jatuh. Saya harus menahan.



Bagaimanapun Selamat menempuh hidup baru Egar.
Saya senang melihatmu akhirnya mengambil keputusan baik ini. Benar-benar langkah besar.
Semoga suara tangisan bayi segera menggaungi lorong lorong rumah kalian.

Saturday, September 5, 2015

Just Ex-officemates, Not Ex-Bestfriend.

Senin, 27 Juli 2015.

Hari ini saya memutuskan untuk resign dr kantor ini.
Sedih yang mendalam begitu kental terasa. Banyak sekali moment yang tertinggal di otak saya yg bisa dikenang manis dr setiap sudut ruang tempat ini.
Tawa dan kehangatan yang sangat khas di kantor ini mampu membuat saya bertahan lebih dari dua tahun bekerja bersama mereka.
Teman-teman hebat seperti Denta, Wahyu, Fair, Amary, Audry, Bengky, Niken, Isma, Safeth, Rangga, Pak Anto, Emak Rizka adalah orang-orang hebat yang mampu membekaskan kenangan baik di pikiran saya. Orang-orang ispiratif yang membuat saya selalu tersenyum mensyukuri hari hari saya, berangkat kantor di pagi hari selalu menjadi menyenangkan karena bayangan-banyangan seru tentang apa yang akan terjadi seharian nanti. Cerita-cerita lucu atau planing-planing liburan bersama utk mengunjungi tempat-tempat baru. Percayalah, di kantor ini saya merasa seperti tidak dalam atmosphere bekerja, tidak merasakan pressing, deadline-deadline pun kami lalui dengan baik dan menyenangkan. Begitu homey.
Namun bebrapa pertimbangan membuat saya memutuskan untuk pergi. Saya tidak pernah ada masalah baik secara hubungan personal maupun pekerjaan terhadap siapapun disini. Saya hanya merasa mendapat peluang yg lebih baik di perusahaan lain,baik dari segi posisi maupun sallary yang saya yakin bisa meng upgrade value saya. Belajar lebih banyak di tempat baru dan merasa tertantang untuk mencoba. Itulah alasan saya.
Mojokerto adalah tempatnya. Selama saya masih bisa menjangkau Malang saat weekend untuk liburan bersama dengan mereka seperti dulu itu gak jadi soal sih.
Kita hanya tidak bekerja di atap yang sama dan makan siang tidak di meja yang sama. Hanya itu.
Dan hubungan pertemanan pun akan terus belanjut kan.?

"Pak Anto, saya submit email pamitan ke semua temen kantor ya pak?" saya chat ke boss saya melalui PC untuk meminta ijin.
"Iya za, hiks." ketik bos saya singkat. Aneh rasanya melihat boss saya yang biasanya tampil formal sekarang ada tambahan "hiks" dalam messager nya.
"Ini bukan "good bye" pak, hanya "see you later" kok."
"Dimanapun, sukses ya za." Dia menyemangati.
"Terima Kasih Pak."

Menjelang sore, saya berkeliling kantor, warehouse, laboratorium, basecamp enginering dan ruang produksi untuk berpamitan. Ini bukan kali pertama saya pindah kerja dan mengalami perpisahan, namun tetap saja moment pamitan selalu menjadi hal yang berat.
Pak Anto dan Denta memeluk saya dengan hangat dan lama, saya sangat kehilangan mereka sebagai rekan kerja. Di luar sana nanti, kami akan hanya teman berhaha-hihi tanpa ada bahasan pekerjaan sebagai topik pembicaraan.


Sukses untuk kalian semua.
Jadilah orang yang mampu berkembang dengan baik. Dimanapun.

 
Sabtu, 1 Agustus 2015.

Egar ke Malang.
Saya Mulai bekerja di kantor baru sejak jumat kemarin. Ini adalah hari kedua, dan jam operasional kantor hanya sampai setengah hari.
Jam 3 sore Egar menjemput saya ke Mojokerto dulu.
Dia membantu saya untuk pindahan. Beberapa kebutuhan kecil dan pakaian perlu saya bawa ke Mojokerto.
Dia berencana nginap di Malang dan kita akan kembali ke mojokerto Minggu besok.
"Aku takut gak akan ke Malang lagi dalam waktu yang lama. Aku pingin jalan jalan, menikmati kota yg sejuk dan kuliner di beberapa tempat." Kata dia.
"Iya." Tak ada kalimat lagi yang terucap. Tercekat di pangkal lidah. Membyangkan betapa rumitya hubungan kami nanti pasca pernikahannya.
Jalanan macet mulai dari Taman Dayu di Pandaan, Lawang, Singosari dan Karangluh tak membuat saya merasa jenuh. Duduk diam bersama Egar sepanjang Jalan meski dalam kondisi saling membisu tak pernah menjadi hal yang sia-sia atau buang waktu. Apapun bersamanya terasa sangat lebih baik dan berharga.
Kami tiba di Malang jam enam petang. Kami istirahat sejenak lalu mandi. Setelah itu kami pergi untuk makan malam. Warung Subuh di Jalan Raya Langsep adalah tujuan kami, semacam pusat jajanan dan makanan yg lumayan terkenal di Malang yang buka hingga jam dua dini hari.
Disana kami ketemu Hadi, dia teman Egar, "seperti kami" juga. Egar mengantarkan undangan agar Hadi berkenan hadir datang di acara resepsinya.
Ngobrol membuat kami bertiga tak menyadari bahwa waktu sudah menunjukan pukul 10 malam.

"Ikhlaskan. Apa yang kamu harapkan? Tinggal menunggu hari saja kan. Dan anggap semua tentang kalian berdua sudah buyar, meski tidak buyar, anggaplah saja begitu. Terus mengharapkan hanya akan membuat sakit hati." Kata Hadi menyimpulkan saat kami akan berpisah. Egar berada di Toilet saat itu.
Sudah, Logika saya sudah berkata dengan lugas mengenai ini, jauh hari sebelumnya saya sudah menyadari apa yang dibicarakan Hadi barusan, namun perasaan jauh lebih tajam, membungkam nalar dan membutakan mata. Tidak, tidak buta, hanya pura-pura tidak melihat, pura-pura tidak tahu apa yang terjadi.
"Tuhan Maha Baik, kamu menyadari? dalam kondisi ini kamu diberi pekerjaan baru, karir baru, posisi baru dan tentunya sallary baru sebagai penyemangat. Dia tidak serta merta memberimu tulah, tapi ada pemanis yg harusnya kamu mensyukurinya. Lupakan Dia. Besok akan ada teman baru, pekerjaan baru, tantangan baru. Be Brave Za. Kamu masih muda, kejar semua dan jangan membuang waktumu sia-sia."kata dia panjang lebar.
Saya diam. Sulit sekali menelan ludah. Beberapa detik saya tersulut semangat atas simpatinya, namun kemudiam saya kembali masih sulit untuk faham.